Oleh : Manik Priandani, Bontang
Ada hal yang selalu teringat bila kita pergi sebentar keluar dari negeri
tercinta kita ini. Yaitu budaya antri. Budaya antri yang sebenarnya bisa terus
menerus kita coba, dan nantinya akan menambah kebiasaan kita yang luhur (tidak
hanya gotong royong dan ramah tamah).
Seperti biasanya, aku berangkat ke kantor AF Energikonsult Syd AB naik bus
(setir kiri) dengan karcis bulanan yang berbentuk kartu yang sudah diajari di
hari pertama cara memakainya oleh Asa dan Wiveca. Kartu dimasukkan ke dalam
suatu kotak kecil seperti tiket box, kemudian di layar kotak akan muncul
tanggal, bulan, dan tahun kapan expired-nya. Setelah display tulisan itu
keluar, kartunya-pun keluar lagi dari kotak. Masuk keluar kartu di dalam kotak
tidak lebih dari setengah menit. Expired kartuku sampai tanggal 28 April 1997,
artinya kami harus meminta lagi (ke kantor AF) untuk tanggal 29 April s/d 02
Mei 1997. Pintu akan menutup otomatis saat penumpang paling belakang sudah
masuk (jelas sudah ada tombol di dekat supir yang mengatur ini). Lalu posisi bus-pun selalu miring ke kanan
pada saat bus berhenti untuk menurunkan penumpang. Bus akan ”tegak” lagi saat
sudah berjalan.
Naik ke bus ini semuanya antri dengan rapi, tidak ada yang menyerobot. Dari
anak kecil hingga nenek-nenek terbiasa antri. Tidak hanya naik bus saja, untuk
semua kegiatan yang bergantian dengan orang lain (menyeberang jalan, membayar
di kasir, membeli karcis di loket, dsb-nya), pasti mereka antri dengan sabar.
Makanya saya jadi merasa kaget dan tak nyaman sewaktu sampai di Bandara
Soekarno Hatta (dari Amsterdam) ; di counter pembelian tiket suatu maskapai
penerbangan lokal kita, ada seorang Ibu menyerobot dan nyelonong dengan cueknya
untuk membeli tiket, bahkan dengan sedikit menyikut saya...hehehe. Setelah saya
lihat kanan kiri di Bandara Soetta ini, kok semuanya kelihatan tak mau antri
ya... (waduh semoga ini bukan tanda-tanda gegar budaya yang menimpa saya. Sebulan
di sana saja seperti ini (jadi suka antri dan malu kalau tidak), apalagi orang
Swedia atau yang Bangsa lain yang terbiasa antri, bagaimana melihat gaya
srobat-srobot Bangsa kita...pasti pusing lah!).
Senin, 7 April 1997
Hari ini sampai di kantor, mulailah menyimak pelajaran tentang Boiler,
Conservasi, serta Cogeneration-nya hingga sore. Setelah pelajaran usai, kami
melakukan studi visit ke Heleneholm Heat and Power Plant Malmo yang letaknya hanya 15 menit naik bus dari
kantor AF Enerkonsult Syd AB, sampai jam 18.00.
Heleneholm Heat and Power Plant
Heleneholm Heat and Power
Plant
Heleneholm Heat and Power Plant adalah pembangkit panas dan listrik
terbesar di kota Malmo dan merupakan pabrik pengembang fasilitas pemanas yang
sangat penting di daerah ini. Dengan adanya empat musim di sana, pasti
diperlukan sumber panas maupun sumber listrik untuk perusahaan dan perumahan di
seluruh wilayah Malmo. Dengan menggabungkan panas dan tenaga (Combined Heat and
Power atau disingkat CHP), kapasitas
produksinya cukup untuk memenuhi 40 persen dari kebutuhan pemanasan distrik
Malmö dan 20 persen dari kebutuhan listrik di wilayah Malmo. Heat and Power Plant ini selain desain dan
pengoperasian peralatan secara efisien juga memakai bahan bakar gas alam, bukan
minyak. Emisi gas NOx, N2, CO2, H2S maupun limbahnya dijaga sekecil mungkin. Di
Swedia, untuk perusahaan yang mampu mencapai zero emisi maupun polusi yang
sangat rendah (ada batasan-batasan tertentu yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah) akan diberikan penghargaan, sedangkan yang melebihi ambang batas
akan didenda.
Selasa, 8 April 1997
Hari ini full dengan pelajaran tentang Listrik dan Heat Exchanger (alat
perpindahan panas) tanpa ada study visit. Setelah pulang dari kantor, kami
berhenti di pusat kota. Masuk ke mall-mall dan toko yang bertuliskan duty free.
Kami mencari sweater-sweater tebal yang berharga miring sebagai oleh-oleh
(nantinya repot banget membawanya). Lalu mampir ke toko kecil di dekat Hotel
untuk membeli kartu telpon (jaman dulu Hp dan BB, FB, twitter belum ada) yang
bergambar lucu-lucu, ada anak-anak kambing, ada castil, dsb-nya. Kartu ini
selalu saya pakai tiap hari untuk menelpon rumah (anakku yang masih bayi,
suami, maupun pembantu) dan juga Ibu dan adikku. Bekas kartu telpon atau
disebut telefonkort yang dikeluarkan oleh Telia (Telkom-nya Swedia) ini menjadi
souvenir yang lebih diminati beberapa teman di Bontang daripada souvenir yang
lain. Kalau di Denmark kartu telpon ini tertulis Teledanmark. Kalau di Norwegia
dikeluarkan oleh Telenor.
Kartu dan karcis yang saya pakai selama di negeri Skandinavia minus Finlandia
Rabu, 9 April 1997,
Dimulai dengan pengetahuan tentang Energy Producing Plants, kemudian
malamnya dilanjutkan kelas khusus yang kami pelajari alias kami saksikan
yaitu Swedish Folklore Dancers. Kantin
kantor disulap menjadi ruangan luas yang dipakai untuk menari tadisional ini.
Sebelumnya Bertil, Asa, dan Wiveca sudah menyambut kami dengan ramah di pintu
kantin.
Swedish Folklore Dances adalah tarian rakyat Swedia di masa lalu. Merupakan
budaya yang dipelihara oleh Pemerintah Swedia dan ditampilkan dalam sertiap
kesempatan, seperti saat ini. Penari-penarinya memakai baju tradisional rakyat
Swedia yang khas. Kalau di Indonesia ini mirip baju kebaya-nya.
Berpasang-pasangan menari Swedish Folklore Dances
Penari perempuan memakai baju putih lengan panjang dan berkerah (rimpel,
dsb-nya) kemudian memakai rok panjang warna gelap dan celemek untuk blouse
maupun rok. Kerudung segitiga diikatkan di kepala, dan memakau sepatu pantofel
dan kaos kaki berwarna hitam. Manis, sopan, dan simple. Sedangkan kostum para pria tidak kalah
atraktif. Memakai hem lengan panjang berwarna putih dan memakai baju luar semacam
tuxedo pendek berwarna gelap (hitam), kemudian memakai celana tiga perempat
napoleon yang ketat di ujung, dan dilengkapi kaos kaki selutut. Warna celana
biasanya coklat atau putih. Tak lupa sepatu (boot) hitam dan topi (mirip topi
svenson) warna hitam.
Musik dan nyanyian yang mengiringi tarian atau dansa ala pedesaan Swedia
ini sangat rancak dan memerlukan gerakan lincah. Konon tarian ini merupakan
simbol dari kesuburan dan kemakmuran Kekompakan dan kegembiraan terasa di sini.
Para penari masuk dengan berpasang-pasangan. Kemudian masing-masing pasangan
melakukan gerakan tarian maju mundur (seperti tarian Serampang Dua Belas tetapi
berbeda fomat dan rasanya). Kemudian bergandengan melingkar bersama. Berbagai
gerakan bersama juga dilakukan. Pokoknya meriah sekali. Aku dan beberapa
temanpun diajak terlibat untuk menari. Mempraktekkan gerakan-gerakan indah dan
lucu bersama-sama. Mengangkat dan mengayunkan tangan, dan melangkahkan kaki
bersama-sama. Tim penari ini merupakan tim kesenian Malmo yang bernama “Folkdansens
Vanner”.
Mereka menari dengan lincah
Sehabis ikut menari, aku mendapat teguran dari salah temanku yang berasal
dari Timteng. Dikatakan bahwa aku tidak layak ikutan dance seperti itu karena
aku muslimah, memakai kerudung (jilbab) dan telah bersuami. Kalau suami tidak
ikhlas, bisa kena rajam. Astaghfirullah, rasanya aku tidak melakukan gerakan
yang aneh-aneh, menurutkan gerakan-gerakan tarian itu cukup sopan, dan ini
dilakukan bersama-sama dan kita seharusnya menghargai seni budaya bangsa lain.
Betapa banyak yang harus kita pelajari dan juga saling sharing bila bertemu
dengan teman-teman dari berbagai Negara ini.
Kamis, 10 April 1997
Seperti kemarin. Kegiatan penuh. Kuliah terus. Kali ini belajar tentang
peralatan Evaporator dan Electric Power Generation. Pulangnya, aku dan Yani
jalan-jalan ke pasar tradisonal. Di sana banyak dijual tanaman-tanaman cantik dan bunga-bunga indah.
Buah-buahan terlihat segar dan mulis. Ada jagung, buncis, wortel, tomat dan
kacang panjang yang terlihat bagus dan segar. Lalu aku ingat kata-kata Asa bahwa
dia jarang membeli buah-buahan maupun sayuran yang terlihat licin, besar, dan
mulus. Dia lebih memilih kacang panjang yang keriting dan mungkin ada sedikit
kutunya daripada yang mulus. Karena buah dan sayuran yang besar dan gemuk
dikhawatirkan banyak disemprot dengan pestisida dan juga memakai pupuk
anorganik. Salut dan setuju. Bahkan konon pabrik pupuk anorganik sudah tidak
ada di Swedia. Aku jadi mesam-mesem kalau mengingat ini. Kalau begitu bagaimana
nasib pabrik urea-"ku" dong?
Jum’at, 11 April 1997
Hari Ulang tahun adikku. Belajar
tentang Dryers dan Efisiensi Energi pada Power Supply dan dilanjutkan study
visit ke Barseback Nuclear Power Plant (BNPP). Kami berangkat dari kantor jam
13.00 menuju ke Pembangkit Power Tenaga Nuklir Swedia yang ada di Barseback
dekat Malmo. Diperlukan waktu 30 menit sampai ke Barseback. Lokasi pembangkit
tenaga nuklir ini berada di pinggiran pantai yang indah.
Barseback Nuclear Power Plant (BNPP)
Kami sudah diingatkan untuk tidak lupa membawa passport dan tidak boleh
membawa kamera. Siap. Karena kami memang akan masuk ke suatu tempat yang bagiku
sangat mengagumkan. Pada saat itu Swedia sudah memiliki banyak pembangkit
Nuklir sementara Indonesia masih bercita-cita, dan belum terlaksana juga sampai
sekarang.
Barseback Nuclear Power Plant (BNPP)
Sampai di BNPP kami disambut oleh
pegawai di sana,
dan diajak masuk ke auditorium BNPP. Sebelumnya passport kami dikumpulkan di
resepsionis, dan diganti dengan badge tanda masuk Plant. Peraturan dan proses
di Pembangkit Nuklir ini diterangkan garis besarnya di auditorium. Setelah itu
kami diajak ke ruang ganti pakaian. Kenapa harus ganti? Jelas untuk menghindari
efek langsung dari sinar radioaktif. Pakaian yang kami kenakan mirip pakaian
astronot dan berwarna putih. Sekujur tubuh kami tertutup dengan baju berwarna putih
dan juga masker kaca. Sepatu kamipun dibungkus plastik. Kayak astronot yang mau
mendarat di planet lain.
Pemandu kami adalah seorang
perempuan cantik dan sarjana nuklir (ehm keren). Dia sudah siap menerima
konsekwensi bekerja di sini, disebutkan bahwa efek dari radiasi nuklir adalah
kemandulan, apalagi kalau berkecimpung sehari-hari. Benar-benar wanita modern.
Mrs cantik ini (aku lupa namanya) walau terlihat lembut bergerak cekatan.
Jalannya cepat dan naik turun tangga dengan lincah. Kami diajak melihat-lihat
reaktor nuklir dari atas. Kemudian diajak naik lift, tetapi lift-nya bukan
untuk naik, tetapi untuk turun ke bawah hingga dasar ke sekian di dalam perut
bumi (seingatku kedalamannya sekitar lima
sampai enam lantai ke bawah, perlu aku yakinkan di buku panduannya). Hebat
sekali. Bagaimana bisa membuat ruangan ini kedap air? Kami melihat reaktor dan
peralatan yang lain di bawah. Kemudian naik ke atas lagi untuk melihat unit
peralatan lain yang ada di luar lewat jendela kaca.
Singkat kata, aku sangat puas diajak ke sini. Menakjubkan dan luar biasa!
Dan sore ini kami harus segera pulang ke Hotel dan untungnya sampai di
Hotel sesuai jadwal yang kami harapkan (sekitar jam 17.00). Karena jam
18.00-an, aku, Yani, dan teman kami Udomphan dan Theerasak (dari Thailand) akan
segera menuju stasiun kereta api Malmo. Malam itu kami berencana ke Oslo,
Norwegia naik kereta malam yang berangkat sekitar jam 19.00.
Naik Kereta Api
Stasiun kereta api Malmo terletak berdekatan dengan pelabuhan ferry
penyeberangan ke Kopenhagen. Kami hanya berjalan kaki dari Hotel tidak lebih
dari 15 menit. Langsung membeli tiket. Terus terang aku dalam kondisi lelah dan
ngantuk berat. Hari ini
acaranya full banget dan benar-benar menyita tenaga. Aku ingin cepat-cepat
duduk di kursi kereta api.
Masuk ke gerbong kereta aku heran, ruangan kereta bentuknya kayak bilik
(kompartemen) yang ada pintunya. Tidak terlihat ada kursi. Nah...agak bingung
jadinya. Tempatku di bilik nomor sekian. Aku buka pintu ”kamar” itu. Lho kok
bukan kursi, tetapi tempat tidur gantung kanan kiri, masing-masing bertingkat
tiga. Dan aku tambah deg-degan karena kami berempat mendapat tempat terpencar
(berbeda bilik). Di dalam sudah selonjor lima orang, tinggal satu tempat tidur
di kiri, paling atas lagi! Tempat tidurku! Benar-benar kejutan. Ya
Allah...bayangkan tidur bareng-bareng orang di satu kamar, dan aku di atas.
”Teman-teman” sekamarku cuek saja. Mereka kelihatannya kelelahan. Yang
tidur persis di bawahku berkulit hitam, dan di dipan seberangku berkulit putih
dan berambut pirang. Kelihatannya hanya ada dua orang bule di kompartemenku,
yang lainnya berkulit berwarna. Semuanya laki-laki. Bayangkan (lagi)! Aku
sebenarnya pengen menukar tempat mereka dengan tempat teman-temanku, tetapi
bagaimana nih ngomongnya, lagian sebagian dari teman se-kompartemen-ku ini
sudah tidur mendengkur. Yang belum tidurpun gayanya acuh tak acuh dan tak
peduli. Bagus....
Kereta belum berjalan. Ada waktu untuk menenangkan diri. Akhirnya aku
berusaha cuek juga, kemudian naik ke tempat tidurku itu sambil berdo’a dan
meyakinkan diri dengan bekal bela diriku (?!@#$) yang sedikit-sedikit masih aku ingat
gerakannya. Aku sekalian menjamak sholat Maghrib dan Isya’-ku. Jadi lebih
tenang.
Kereta SJ Nattåg (kereta malam) reguler inipun siap untuk berjalan.
Sayup-sayup terdengar suara kondektur meniup peluit dan pengumuman kereta
diberangkatkan. Lampu kota dan jalanan yang sepi Malmo pun melepas
keberangkatan kami. Ketika kilatan lampu kian redup, berarti gerbong mulai
meninggalkan kehidupan kota. Walau sempit, tempat tidur susun (berth) ini
kiranya cukup nyaman dan membuat aku yang kelelahan melupakan rasa was-was
karena dibuai oleh irama benturan roda dan rel yang teratur hingga terlelap
begitu cepat sampai akhirnya terbangun karena ada suara peluit dan memelannya
(jalan) kereta api ini.
Sabtu, 12 April 1997
Astaghfirullah, aku hampir saja telat sholat subuh. Aku langsung turun dari
tempat tidurku dan mencari toilet untuk sikat gigi dan wudlu. Waktu aku keluar,
masyaallah, kereta api ini sedang merambati tebing-tebing tinggi yang demikian
curam dan terlihat demikian indah. Aku belum pernah melihat pemandangan seperti
ini. Kereta api seakan meliuk-liuk menempel pada tebing-tebing cadas. Betapa
pandainya mereka membuat kereta api yang safe seperti ini. Cadas-cadas itu
demikian dekat di depanku. Aku cepat-cepat sholat dalam posisi duduk, setelah
itu melanjutkan memandang keindahan alam wilayah Norwegia nan permai. Semburat
sinar surya di antara tebing-tebing tinggi dan bayang-bayang pohon-pohon pinus dan
perdu-perduan terlihat demikian menakjubkan. Sebentar lagi kereta akan sampai
Oslo. Andai aku bangun lebih pagi, pasti lebih banyak lagi pemandangan indah
yang dapat aku lihat.
Sekitar jam 07.00 pagi kami sampai ke Oslo.
Kami tidak dapat langsung ke Hotel. Kita putuskan untuk jalan-jalan di
sekitaran stasiun (tanpa mandi dulu!). Rasanya muka agak lengket (walau sudah
cuci muka dan sikat gigi). Tetapi tak apa. Ini namanya perjuangan untuk melihat
kota di wilayah utara bumi ini. Suhu di sini memang terasa lebih dingin
dibandingkan dengan Malmo.
Postcard Oslo
Di Jembatan dekat Hotel, Oslo
Keluar dari stasiun kereta, terlihat
gedung-gedung yang tinggi. Bendera berdasar warna merah dan bersalib putih
berkibar di gedung-gedung. Kami benar-benar sudah sampai Norwegia! Gedung
bercat coklat (kuning) banyak mendominasi. Kami berjalan ke arah gedung-gedung
di atas sana. Seingatku ada gereja, kantor post, pasar, dsb-nya. Lagi-lagi
teringat penataan kota yang seragam seperti ini. Oh iya, aku mendapat pesanan
dari teman-teman Indonesia di Malmo untuk menghubungi Mbak Retno, staff
Kedutaan Besar Norwegia saat itu yang sangat antusias bila ada orang Indonesia
yang mampir ke Norwegia, khususnya kota Oslo. Bahkan disarankan untuk menelpon
beliau dan pasti akan dijemput di tempat janjian. Tetapi dengan pertimbangan kami
di sini hanya semalam, daripada merepotkan lebih baik kami jalan sendiri (apalagi bersama
teman-teman lain).
Setelah puas berkeliling di kawasan gedung-gedung kuno di sekitaran stasiun, kami kemudian menuju ke Hotel. Sedikit ingat sedikit lupa, kami saat itu naik trem menuju daerah pusat kota Oslo dan dekat dengan Hotel yang akan kami inapi nanti malam. Alamat Hotel yang kami tuju sudah ada pada Udhompan. Dhompan yang mencari alamat hotel itu di internet. Sementara Theerasak membawa peta kota Malmo. Dhompan (dibaca : Dupong) adalah manager di Pembangkit Listrik terbesanya Thailand (seperti PLN-nya Indonesia); dia bersifat sabar, ngemong, dan cekatan. Jadilah kami jalan-jalan dengan nyaman. Dari situ aku belajar banyak dari Dhompan.
Kami berhenti di pinggir pantai yang indah, berfoto-foto. Kemudian di depan patung raja berkuda.
Lalu juga di jembatan kota yang bersih. Obyek wisata di Oslo mungkin cukup
banyak. Namun sesuai tujuan semula, goal yang ingin kami capai adalah
menginjakkan kaki di Oslo dan melihat kota cantik yang punya plesetan nama Solo
dari orang-orang Indonesia. Di sanapun banyak toko-toko yang menjual barang dan
baju second hand. Kami juga sempat masuk ke situ.
Bertemu teman se-Perusahaan
Saat makan siang tiba. Kami sudah mulai lapar. Sempat kebingungan untuk mencari restoran
yang pas. Karena bagaimanapun kami harus memilih. Kami sempat berkeliling ke
tempat semacam pujasera-nya Oslo. Theerasak dan Dhompan setuju saja dengan
kami. Akhirnya aku dan Yani memutuskan ke Mc Donald dan pesan burger ayam. Saat
kami masuk ke Mc Donald...tarraaa...duduk di depan sana teman kami satu
perusahaan : Khaspan Purba!!! yang kemarin sempat kami dengar mengikuti
pelatihan soal Maintenance di Stockholm. Jadinya heboh! Dia sudah sebulan di Stockholm
dan tidak ada teman sama sekali dari Indonesia. Selama sebulan itu dia merasa
bosan berbahasa Inggris terus. Pengen
sekali bertemu dengan orang Indonesia dan berbahasa Indonesia. Akhirnya
dia berteman dekat dengan teman sepelatihannya dari Filipina dengan pertimbangan
setidak-tidaknya ada bahasa tagalog yang hampir mirip dengan bahasa Jawa (kapan
Bahasa Jawa sama dengan Bahasa Indonesia?), misalnya dalam mengurutkan nomor
..siji, loro,telu, papat...(hehehe). Dan tahukah anda, bahwa teman saya ini
berasal dari Medan dan asli dari tanah karo!.
Akhirnya kami perlu check in dulu ke Hotel. Rate kamar Hotel sekitar 400
krona per malam, dan mempunyai fasilitas cukup menyenangkan: sarapan, tempat
tidur nyaman, kopi dan teh gratis. Setelah check in, kami lanjutkan lagi
berkeliling menyusuri dan mengelilingi kota
Oslo sampai tengah malam. Aku tidak ingat lagi ke mana saja. Yang jelas
kami juga masuk ke mall-mall nya Oslo yang isinya sama saja dengan mall di
Indonesia. Dan berjalan-jalan lagi ke down town Oslo sepuasnya, karena besok
pagi kami harus pulang naik kereta pagi yang melewati Goteborg kemudian ke
Malmo.
Yang aku ingat dengan kota Oslo adalah kota yang tenang, bersih, dan
aristokrat. Orang-orangnya terlihat hampir semua berpendidikan. Bahasa Inggris
dipahami oleh semua kalangan. Selain yang aku ingat, masih banyak hal yang
tidak aku ingat karena perjalananku ini singkat dan sudah berlangsung pada
belasan tahun lalu.
Setelah matahari mulai tenggelam, kami balik ke hotel dan beristirahat.
Menyiapkan diri untuk berkerataapi ria lagi balik ke Malmo.
Minggu, 13 April 1997
Bangun pagi. Kemudian sarapan. Setelah itu berfoto-foto sebentar di
sekitaran Hotel, baru kemudian kami menuju ke stasiun Oslo. Kami naik kereta
ekspres yang routenya agak berbeda, yakni melewati kota Goteborg. Perjalanan
dari Oslo - Goteborg – Malmo menurut saya tidak seseru route kemarin.
Tebing-tebung curam yang kemarin tidak terlihat. Hanya saat melewati Goteborg,
pemadanangnya laut, dermaga, dan pelabuhannya sangat indah dan sibuk. Banyak
kapal-kapal yang bersandar dan container-container yang menumpuk rapi di
pinggir pelabuhan. Kereta api sempat berhenti di kota ini untuk menurunkan
sebagian penumpang. Namun kami tidak sempat turun di sini, karena waktu
kami terbatas. Besok pagi sudah ada kelas yang harus kami ikuti kembali.
Kota Goteborg dengan pelabuhannya.
Kami sampai di Malmo sekitar jam 19.00. Langsung pulang berjalan kaki
menuju ke Hotel. Habis itu selonjor lagi....
(to be continued to part 4)
Bontang, 09 Agustus 2011 (dikirim ke blog ini tanggal 26 September 2013, agar cerita ini tidak hilang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar